Zona Nyaman
- Initarki Alumni
- Jun 23, 2021
- 3 min read

“I gave up my job as a country manager.” “Saya meninggalkan pekerjaan saya sebagai Country Manager.”
Itu cuplikan kalimat seorang peserta The Apprentice: ONE Championship Edition, acara televisi realitas yang berisi persaingan melibatkan bisnis dan tantangan fisik. Peserta itu, Paulina Purnomowati (Pungky) adalah adik kelas di SMA Tarakanita 1 angkatan 1997. Bangga? Pasti! Tapi saya tidak bermaksud ngobrol soal Pungky atau program TV yang super keren itu.
Meninggalkan pekerjaan sebagai seorang Country Manager, menurut saya, luar
biasa dan membutuhkan nyali tinggi. Posisi itu pasti dicapai dengan darah dan keringat,
apalagi di sebuah perusahaan multinasional. Tapi Pungky meninggalkan zona
nyamannya demi keikusertaannya di progam TV itu. Nah, ini yang menggelitik saya
untuk menulis ini.
Saya pernah meninggalkan zona nyaman tahun 2006. Sebelum lulus kuliah dari
Program Studi Perancis FIB-UI tahun 1982, saya sudah bekerja di bidang media.
Awalnya di sebuah majalah wanita besar dan terkenal sebagai reporter. Saya bekerja
sambil menulis skripsi. Tugas saya mewawancara orang, kemudian menuangkannya ke
dalam artikel. Tidak bertahan lama, setelah lulus kuliah, saya bekerja di kedutaan besar
sebuah negara di kawasan Amerika Selatan yang berbahasa Spanyol. Bahasa
Spanyol? Kan studi saya Bahasa Perancis? Gak apa-apa, saya jadi belajar bahasa
baru, toh kedua bahasa itu serumpun, banyak miripnya.
Kerja di sebuah kedutaan besar, tidak banyak tantangan yang dihadapi. Tapi
saya belajar sedikit banyak tentang diplomasi dan Bahasa Inggris diplomatik. Lebih dari
dua tahun saya bekerja di situ, sangat nyaman karena jam kerja hanya 09.00 – 14.00,
apalagi waktu itu saya baru melahirkan anak pertama. Suatu hari, Duta Besar yang
bernama Jesus Domene (orangnya baik sekali sesuai namanya) “menyuruh” saya
keluar dan cari pekerjaan lain. “You’re too qualified to work here,” katanya. Sebagai
lulusan S1 (sudah tinggi pada masa itu), pendidikan saya terlalu tinggi untuk pekerjaan
administrasi di sebuah kedutaan besar.
Saya kemudian memasuki dunia televisi, masih di bidang media. Kali ini saya
bekerja sebagai penerjemah dan reporter – kadang-kadang dadakan harus tampil di
depan kamera, di sebuah program berita Bahasa Inggris. Karena honorer, saya tidak
harus ke redaksi tiap hari. Saya menyambi kursus penerjemah tersumpah, yang
ternyata di kemudian hari menjadi modal saya untuk bekerja sebagai freelancer.
Suatu hari, almarhum suami saya memberi info, “Ada stasiun TV baru yang bikin
program berita. Loe pindah ke sana aja.” Maka, setelah enam tahun bekerja di stasiun
TV lama, saya pun pindah lagi ke stasiun TV baru yang lebih menjanjikan, tetap
sebagai reporter. Tiap hari saya ke lapangan, meliput, dan menulis berita. Sembilan
tahun saya bekerja di sana sampai suatu hari saya merasa sangat jenuh. Ehh,
kebetulan ada program pensiun dini, dan saya pun keluar dari zona nyaman.
Kenapa saya sebut keluar dari zona nyaman? Bayangkan, selama hampir 20
tahun, saya bekerja di sebuah lembaga/ perusahaan media dan tiap bulan menerima
gaji, tunjangan, dan sesekali bonus kalau perusahaan untung. Sebagai reporter, saya
bertemu dengan orang-orang dari berbagai kalangan, dari presiden sampai tukang
sapu. Saya juga mudah dapat akses untuk keluar masuk instansi dan menemui orang
penting.
Tiba-tiba, semua “kemewahan” itu hilang. Tiba-tiba, tidak ada lagi hari gajian.
Tiba-tiba, saya jadi “rakyat biasa”, tidak bisa lagi keluar masuk instansi seenaknya
dengan modal kartu ID wartawan. Tiba-tiba, saya tidak bisa lagi bawa embel-embel
wartawan untuk menemui orang penting. Tiba-tiba, saya harus terus memutar otak
mencari peluang atau pekerjaan agar dompet terisi dan asap dapur mengepul.
Menyesalkah saya? Tidak sama sekali! Karena kemewahan yang hilang seperti
saya uraikan di atas, tergantikan oleh kemewahan lain sebagai freelancer. Sekarang
saya bekerja dengan hati, sesuai kemampuan dan minat saya: penerjemahan dan
menulis. Sekarang, saya bisa bekerja dari rumah sambil “dasteran”. Sekarang, saya
tidak perlu capek-capek dan bermacet-macetan rumah-kantor, yang dulu bisa makan
waktu tiga jam pulang pergi. Sekarang, saya tidak perlu bekerja di akhir pekan saat
orang lain libur, atau libur di hari kerja saat orang lain bekerja. Sekarang, saya bisa
berlibur tanpa harus minta cuti, itu pun belum tentu dikasih oleh bos. Sekarang, saya
bisa main dan kumpul dengan keluarga dan teman kapan saja.
Saya yakin Pungky pun akan mendapat hikmah dan menemukan pekerjaan yang
lebih baik setelah dia keluar dari zona nyamannya. Aahhhh, saya jadi gak sabar
menonton The Apprentice: ONE Championship Edition dan melihat kiprah Pungky di
ajang tersebut.
Kontributor:
Tingka Adiati (Tar 82)
コメント