top of page

Zona Nyaman


“I gave up my job as a country manager.” “Saya meninggalkan pekerjaan saya sebagai Country Manager.”


Itu cuplikan kalimat seorang peserta The Apprentice: ONE Championship Edition, acara televisi realitas yang berisi persaingan melibatkan bisnis dan tantangan fisik. Peserta itu, Paulina Purnomowati (Pungky) adalah adik kelas di SMA Tarakanita 1 angkatan 1997. Bangga? Pasti! Tapi saya tidak bermaksud ngobrol soal Pungky atau program TV yang super keren itu.


Meninggalkan pekerjaan sebagai seorang Country Manager, menurut saya, luar

biasa dan membutuhkan nyali tinggi. Posisi itu pasti dicapai dengan darah dan keringat,

apalagi di sebuah perusahaan multinasional. Tapi Pungky meninggalkan zona

nyamannya demi keikusertaannya di progam TV itu. Nah, ini yang menggelitik saya

untuk menulis ini.


Saya pernah meninggalkan zona nyaman tahun 2006. Sebelum lulus kuliah dari

Program Studi Perancis FIB-UI tahun 1982, saya sudah bekerja di bidang media.

Awalnya di sebuah majalah wanita besar dan terkenal sebagai reporter. Saya bekerja

sambil menulis skripsi. Tugas saya mewawancara orang, kemudian menuangkannya ke

dalam artikel. Tidak bertahan lama, setelah lulus kuliah, saya bekerja di kedutaan besar

sebuah negara di kawasan Amerika Selatan yang berbahasa Spanyol. Bahasa

Spanyol? Kan studi saya Bahasa Perancis? Gak apa-apa, saya jadi belajar bahasa

baru, toh kedua bahasa itu serumpun, banyak miripnya.


Kerja di sebuah kedutaan besar, tidak banyak tantangan yang dihadapi. Tapi

saya belajar sedikit banyak tentang diplomasi dan Bahasa Inggris diplomatik. Lebih dari

dua tahun saya bekerja di situ, sangat nyaman karena jam kerja hanya 09.00 – 14.00,

apalagi waktu itu saya baru melahirkan anak pertama. Suatu hari, Duta Besar yang

bernama Jesus Domene (orangnya baik sekali sesuai namanya) “menyuruh” saya

keluar dan cari pekerjaan lain. “You’re too qualified to work here,” katanya. Sebagai

lulusan S1 (sudah tinggi pada masa itu), pendidikan saya terlalu tinggi untuk pekerjaan

administrasi di sebuah kedutaan besar.


Saya kemudian memasuki dunia televisi, masih di bidang media. Kali ini saya

bekerja sebagai penerjemah dan reporter – kadang-kadang dadakan harus tampil di

depan kamera, di sebuah program berita Bahasa Inggris. Karena honorer, saya tidak

harus ke redaksi tiap hari. Saya menyambi kursus penerjemah tersumpah, yang

ternyata di kemudian hari menjadi modal saya untuk bekerja sebagai freelancer.


Suatu hari, almarhum suami saya memberi info, “Ada stasiun TV baru yang bikin

program berita. Loe pindah ke sana aja.” Maka, setelah enam tahun bekerja di stasiun

TV lama, saya pun pindah lagi ke stasiun TV baru yang lebih menjanjikan, tetap

sebagai reporter. Tiap hari saya ke lapangan, meliput, dan menulis berita. Sembilan

tahun saya bekerja di sana sampai suatu hari saya merasa sangat jenuh. Ehh,

kebetulan ada program pensiun dini, dan saya pun keluar dari zona nyaman.


Kenapa saya sebut keluar dari zona nyaman? Bayangkan, selama hampir 20

tahun, saya bekerja di sebuah lembaga/ perusahaan media dan tiap bulan menerima

gaji, tunjangan, dan sesekali bonus kalau perusahaan untung. Sebagai reporter, saya

bertemu dengan orang-orang dari berbagai kalangan, dari presiden sampai tukang

sapu. Saya juga mudah dapat akses untuk keluar masuk instansi dan menemui orang

penting.


Tiba-tiba, semua “kemewahan” itu hilang. Tiba-tiba, tidak ada lagi hari gajian.

Tiba-tiba, saya jadi “rakyat biasa”, tidak bisa lagi keluar masuk instansi seenaknya

dengan modal kartu ID wartawan. Tiba-tiba, saya tidak bisa lagi bawa embel-embel

wartawan untuk menemui orang penting. Tiba-tiba, saya harus terus memutar otak

mencari peluang atau pekerjaan agar dompet terisi dan asap dapur mengepul.


Menyesalkah saya? Tidak sama sekali! Karena kemewahan yang hilang seperti

saya uraikan di atas, tergantikan oleh kemewahan lain sebagai freelancer. Sekarang

saya bekerja dengan hati, sesuai kemampuan dan minat saya: penerjemahan dan

menulis. Sekarang, saya bisa bekerja dari rumah sambil “dasteran”. Sekarang, saya

tidak perlu capek-capek dan bermacet-macetan rumah-kantor, yang dulu bisa makan

waktu tiga jam pulang pergi. Sekarang, saya tidak perlu bekerja di akhir pekan saat

orang lain libur, atau libur di hari kerja saat orang lain bekerja. Sekarang, saya bisa

berlibur tanpa harus minta cuti, itu pun belum tentu dikasih oleh bos. Sekarang, saya

bisa main dan kumpul dengan keluarga dan teman kapan saja.


Saya yakin Pungky pun akan mendapat hikmah dan menemukan pekerjaan yang

lebih baik setelah dia keluar dari zona nyamannya. Aahhhh, saya jadi gak sabar

menonton The Apprentice: ONE Championship Edition dan melihat kiprah Pungky di

ajang tersebut.


Kontributor:

Tingka Adiati (Tar 82)

67 views0 comments
bottom of page